Sunday, November 24, 2013

Vonis Ringan untuk Koruptor? NO!!!

Korupsi, korupsi, korupsi! Inilah PR terbesar bangsa Indonesia hari ini. Korupsi yang kian menggurita seakan-akan memupus harapan kita akan Indonesia yang bersih. KPK sudah beberapa kali melakukan penindakan terhadap pelaku-pelaku korup di negeri ini, baik mereka yang duduk di parlemen, eksekutif, bahkan penegak hukum. Tapi tampaknya itu tak cukup menyiutkan nyali para “tikus” untuk menggerogoti anggaran negara. Bukannya jera, korupsi justru kian marak di Indonesia. Bayangkan, dalam konteks hubungan kerja DPR dan Eksekutif saja, korupsi sudah dilakukan sejak penyusunan anggaran, belum lagi dalam implementasi kebijakan atau program kerja pemerintah.

Bagaimana cara agar koruptor takut untuk korupsi? Atau setidaknya bagaimana menimbulkan efek jera bagi pelaku dan juga membuat calon pelaku berpikir berkali-kali untuk korupsi? Bagaimana cara agar rasa keadilan masyarakat pulih? Salah satunya adalah menghukum seberat-beratnya kepada mereka yang terbukti korupsi. Inilah yang dilakukan oleh Mahkamah Agung lewat vonis kasasi yang diajukan Jaksa kepada Angelina Sondakh. Sebelumnya, pada pengadilan tingkat pertama dan kedua, Angie divonis  4 tahun 6 bulan penjara karena terbukti memainkan anggaran di Kemenpora dan Kemendiknas. Namun, 20 November 2013, MA memperberat hukuman Angie dengan vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS atau sekitar Rp 27,4 miliar .

Lewat panel hakim yang diketuai hakim agung Artidjo Alkostar, apa yang dilakukan MA adalah angin segar ditengah keterpurukan penegakan hukum di Indonesia. Setidaknya kita masih punya harapan tentang hukum yang benar-benar ditegakkan. Pada sosok pemberani seperti Artidjo lah kita berharap agar hakim-hakim lain mengikuti langkah serupa (baca: fakta-fakta menarik tentang hakim Artidjo). Hakim pengadilan tindak pidana korupsi harus betul-betul jeli dalam melihat sebuah perkara karena masyarakat tidak mau melihat koruptor yang hanya divonis ringan. Harus ada satu kesepakatan bersama bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan karena itu vonis yang ditetapkan pengadilan harus benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat tentang keadilan bagi koruptor.

Keputusan ini adalah bukti bahwa penegakan hukum bergantung pada orang-orang yang bekerja dalam sistem hukum kita. Kita butuh Artidjo-Artidjo lain. Hakim yang berani, idealis, jujur, dan sederhana. Semoga karakter seperti hakim Artidjo ini menular juga ke banyak pejabat-pejabat tinggi di Indonesia.

Friday, November 22, 2013

Penyadapan Australia terhadap Indonesia

Pada tahu kan berita paling heboh minggu ini? Yak, minggu ini sedang ramai dibahas soal penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah Australia terhadap pejabat tinggi Indonesia. Ceritanya berawal dari terstimoni Edward Snowden, agen NSA (National Security Agency) Amerika Serikat, yang membocorkan aksi spionase pemerintah Amerika Serikat terhadap banyak negara di dunia. Dengan memanfaatkan kedutaan besar mereka yang tersebar di banyak negara, Amerika Serikat disinyalir mengumpulkan informasi intelijen lewat cara-cara illegal, misalnya, menyadap data percakapan telepon, pesan-pesan pendek, email, dan database penting lain di banyak negara.

Nah isu ini semakin hangat setelah harian Sydney Morning Herald tanggal 31 Oktober 2031 memberitakan bahwa pemerintah Australia termasuk bagian dari aksi spionase ini. Tak tanggung-tanggung, tak kurang dari Presiden SBY menjadi “korban” aksi intelijen negeri kangguru. Selain Pak SBY, ada juga Ibu Ani Yudhoyono, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, Sri Mulyani, Hatta Rajasa, Widodo As, dan Andi Mallarangeng - semuanya  adalah pejabat-pejabat penting yang dekat dengan Presiden.

Protes keras tidak hanya datang dari Presiden SBY yang memutuskan menunda sejumlah kerja sama dengan Australia (Presiden juga telah memanggil pulang Dubes Indonesia untuk Australia). Beberapa hari terakhir, kedutaan besar Australia yang terletak di Kuningan, Jakarta, menjadi sasaran protes massa dari berbagai kalangan. Mereka menuntut pemerintah Australia meminta maaf secara resmi. Sejumlah figur penting yang sudah menyatakan keberatan atas aksi ini, misalnya, protes dari Jusuf Kalla atau dari pemimpin muda Anies Baswedan (lengkapnya bisa dicek disini). Pada prinsipnya, mereka sangat menyayangkan aksi ini dilakukan oleh dua negara tetangga yang selayaknya bersahabat. Mengutip Anies Baswedan, Indonesia dan Australia adalah tetangga sepanjang masa sehingga sangat disayangkan melakukan tindakan yang merusak adab dalam bertetangga, melampaui batas dalam menjaga hak-hak dan privasi individual.

Memang ada pendapat yang mengatakan aksi spionase adalah hal yang biasa, terlebih dalam dunia intelijen. Intelijen diseluruh dunia bekerja untuk mengumpulkan data-data penting yang mereka anggap perlu. Tujuannya adalah memastikan keamanan dan kepentingan nasional masing-masing negara. Karena sifatnya kerahasiaannya, kerja intelijen seringkali bertabrakan dengan norma-norma hubungan antarnegara yang harus dihormati. Gamblangnya, selalu ada dua layer hubungan antarnegara; pertama hubungan yang berbentuk “pentas politik”, misalnya kerja sama bilateral, multilateral, konferensi-konferensi tingkat tinggi, forum-forum yang mempertemukan top leader dari masing-masing negara, dan seterusnya. Disini masing-masing negara melihat negara lain sebagai partner, sebagai sahabat yang bisa diajak bekerja sama. Nah, layer kedua adalah hubungan yang berbentuk “pentas intelijen”. Disini yang berbicara bukan lagi kerja sama melainkan aksi-aksi sepihak seperti penyadapan, spionase, telik sandi, dan semacamnya. Pada layer ini masing-masing negara melihat negara lain sebagai ancaman, atau berpotensi mengancam kepentingan dalam negeri mereka.

Jika asumsi diatas kita gunakan, maka pertanyaan mendasarnya, sejauh mana sih kita mendefinisikan keamanan nasional? Benarkah Indonesia adalah ancaman bagi Australia? Bukankah dua negara tetangga ini sudah bersahabat baik sejak lama dan Australia selayaknya menghormati Indonesia sebagai tetangga terdekat, dan (mungkin) partner kerja terpenting mereka di Asia? Apakah aksi spionase juga harus dijalankan dalam suasana damai seperti sekarang?

Nah, itu adalah beberapa pertanyaan yang mungkin bisa dijadikan bahan obrolan ditengah situasi yang masih panas. Pembaca pasti punya perspektif yang berbeda dalam melihat isu ini. Blog ini hanya mengantarkan pembaca yang budiman supaya lebih aware terhadap isu-isu hangat yang sedang diperbincangkan di Indonesia. Salam.